Thursday, November 9, 2017

Puisi Tentang Pahlawan 10 November

Wira Nara Surabaya
By Ind

Pelu mengucur raga
Menyatu bersama lembayung segar
Semburat api semangat berkobar
Menyala terang dalam guratan durja
Menggenggam seutas bambu runcing
Bak jarum tajam menyilaukan
Tombak menancap tembus sang awak
Belati saling terhunus tajam
Kepulan asap pekat berhambur
Beribu umat meluruh gugur
Dibalut kelamnya cakrawala
Surya bersembunyi di balik cirrostratus hitam
Hanya satu pemikiran satria
Kolonialis bisa saja mematahkan kaki sang awak
Namum takkan mampu mematahkan kecintaannya
Meruntuhkan keteguhan akan kemenangan
Menaklukkan kesetiaan terhadap bangsa
Menghanguskan cita cita Indonesia
Tak akan pernah....
Uluran tangan sang awak membelur eka
Menjadi kenangan getir Surabaya

Monday, November 6, 2017

Cerpen Cerita Pendek

                                                         

 Kenangan Sebuah Kenanga
By: Anak SMK yang Ingin Berkarya
 
        Aku bertumpu di atas tanah. Jongkok menatap gundah pusara di hadapanku. Tangan kananku menjamah lirih nisan bergores tinta hitam sebuah nama. Harum semerbak bunga kenanga menyelusup melalui rongga hidung. Daunnya merenyut ditiup angin. Awan cirrostratus menyelimuti. Hari ini mendung. Sepadan dengan hatiku. Biarlah hujan turun. Biarlah hujan menemaniku merangkai kenangan getir. Kenapa pergi begitu cepat? Dulu seringkali aku berdiri menunggu kepulanganmu di emper rumah. Kini kau benar benar-benar berpulang. Dulu ketika ketika aku masih ingusan, kau melantunkan beberapa dongeng yang menceritakan kisah kancil yang cerdik pengantar tidurku. Kini kau benar benar-benar terlelap pulas sekali. Dahulu pula kau mengalunkan senandung Jawa teruntuk diriku, dan kini giliranku mengirimkan ayat ayat suci untukmu tersayang. Rendah sekali aku saat kau enyah jauh di dekapan buana. Gentar menatap redup masa depan. Takut akan hilangnya janji kehidupan yang lebih baik. Mampukah aku melewati ganasnya dunia tanpamu? Sekuntum kenanga tumpur di atas gundukan tanah berhias jibunan mahkota mawar. Semoga kenanga ini ikut berdoa atas keselamatanmu. Tak terasa air mata menggenang di kelopak Netra. Memburamkan seisi pandanganku. Aku tidak menyekanya. Biarlah tetap mengalir sebanyak yang diingin. Biarlah luruh bersama deraian air hujan. Biarlah begitu jika dapat mengusir kepedihan yang menikam.Biarlah air mataku membantu sebuah kenanga. Biarlah. Aku menarik nafas panjang. Menukar hembusan karbon dioksida. "Tidurlah dengan tenang, Ayah." Ucapku pelan. Pelan sekali. Bahkan hampir tak terdengar. Tersisi oleh suara alam.