Cerpen Tentang Ayah
Title: Kepergian Ayah (Based From True Storie)
Author: Indah (IG: I.indxx)
Thanks To: Ayah, Buku diary yang selalu siap buat melahap semua kicauanku :'v
Angin berhembus dengan kencang. Meniup dedaunan hingga
membuatnya berhamburan. Matahari sembunyi dibalik awan hitam yang tampat tebal.
Air mulai berjatuhan dari atas sana seakan menangisi kepergian Ayah. Aku
berdiri didekat jendela memandang suasana diluar. Dengan perasaan berkecambuk,
sedangkan air mata ini tak sanggup untuk kusimpan. Ini terlalu sulit untukku.
Layaknya menompang beban yang amat berat. Terlalu banyak sayatan dalam hatiku.
Terlalu dalam luka yang kurasakan hingga membuatku tak akan melupakan peristiwa
ini dalam sepanjang hidupku. Ini terlalu dini, Ayah. Kau pergi menemukan tempat
kedamaian mu. Meninggalkan kami bersama bayang-bayangmu.
***
Aku memasuki
rumah dengan jantung berdetak kencang. Antara rasa takut serta penasaran
bercampur menjadi satu. Penyakit Ayah akan segera dijawab oleh hari ini. Aku
menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Dengan
sebaik-baiknya kusiapkan mentalku. “Penyakit Ayah tidak parah! Ayah sehat,
pasti!!” gumamku yang berusaha meyakinkan diriku sendiri. Namun, dimana semua
orang? Bahkan diruang keluarga tak ada seorangpun. Hingga aku mendengar isak
tangis seorang dikamar orang tuaku. Yang memaksaku untuk melihatnya. Itu
tangisan Ibu! Aku tau tangisan apa ini. Benar-benar buruk, tak ada yang baik.
Perlahan ku hampiri Ibu. Ibu mengelus rambutku. “Ayahmu kanker hati stadium 4,
nakk”. Rasanya seperti telah tersambar petir disiang bolong, ketika
mendengarnya. Kata-kata itu memiliki daya kuat, hingga diriku tak sangup lagi
untuk menompang tubuhku. Air mata mulai membasahi pipi, hingga semakin deras.
Dengan cepat aku berlari menuju kamar. Mengunci diri sendirian. Tiba-tiba
seorang mengetuk pintu kamarku. “Nduk, ayo makan dulu. Baru belajar biar bisa
ngerjakan soal Ujian Nasional.” Ucapnya yang ternyata Ayah. Tangisku semakin
menjadi-jadi ketika mendengar suara Ayah dibalik pintu. Aku terdiam tak
berkutip bahkan air mata ini tak bisa lagi disembunyikan hingga membuat mata
sembab dipagi hari. Mungkin inilah alasan mengapa mata mencerminkan hati.
Sungguh mata tak sanggup menyembunyikan kebahagiaan maupun kepedihan.
Ayah memang
hebat! Ayah tak pernah sekalipun berniat menyerah. Meskipun dokter telah
mengangkat tangan dan tak sanggup lagi berbuat apa-apa untuk kesembuhannya.
Percayalah, dokter bukan Tuhan! Ayah hanya meminum obat-obat an alternativ yang
datangnya dari alam. Yang tentu hanya bisa mengurangi sel sel kanker, tak
sebanding dengan sel sel kanker yang terus berkembang didalam tubuhnya. Ayah
tetap tidak melupakan tanggung jawabnya sebagai suami sekaligus ayah bagi
anak-anaknya.Dengan mengendarai motor bututnya, Ayah pergi guna mencari rejeki.
Meskipun tempat kerja Ayah bisa dibilang cukup jauh. Belum lagi ketika derai
hujan turun dengan deras. Ayah harus pulang dengan basah kuyup hingga
membuatnya menggigil.
23 Maret 2016
Terlihat
begitu banyak teman Ayah datang menjenguk diruang tamu. Sedangkan aku enggan
menampakkan diri mengingat begitu banyak materi yang harus kusiapkan untuk
ujian praktek besok. Aku memilih diam dikamar dengan beberapa buku. Aku sedikit
terusik dengan suara bising mereka. Hingga beberapa lama kemudian, suara tawa
itu berubah menjadi suara panik. Tubuh Ayah menjadi kaku. Sekujur tubuhnya
dipenuhi keringat dingin. Ayah segera digotong oleh beberapa teman Ayah menuju
mobil yang mereka gunakan untuk datang kerumah hari ini. Sedangkan Ibu
tergopoh-gopoh mengikuti di belakang. “Kamu jaga rumah sama adik ya.” Ucap Ibu
padaku. Sedangkan aku hanya mengangguk sambil memasang ekspresi cemas.
Kemudian, Pakpo Aji kakak Ayah datang kerumah untuk menjagaku dan adik. “Tidur
sana nduk, udah malam.” Pintahnya padaku. Aku bergegas menuju kamar. Kulihat
adik telah tertidur pulas dengan kepolosannya. Pikiran-pikiran buruk pun mulai
terlintas dalam otakku. Bagaimana jika Ayah tidak tertolong? Bagaimana jika
Ayah benar-benar pergi jauh? “Tidak!! Ayah sehat, pasti sehat!!” umpatku,
berusaha mengusir semua pikiran buruk. Malam ini, aku benar-benar tak bisa
tidur. Semakin aku berusaha memejamkan mata, semakin banyak pula pikiran buruk
itu. Tiba-tiba terdengar seorang pria datang ke rumah. “Yah, aku barusan dapet
telfon. Om Anto keadaannya masih kritis. Minta dibacakan Yasin.” Ucap pria yang
kupanggil Mas Devi, anak pakpo Aji. Seketika aku menangis mendengarnya
diam-diam dikamar. Beribu janji kuucapkan. “Ayah! Aku janji akan rajin belajar
jika Ayah sembuh! Aku janji akan jadi anak yang baik! Aku janji nurut ke Ayah
sama Ibu! Aku berjanji, asal Ayah sembuh!” ucapku lirih seakan Ayah ada
dihadapanku.
Esokan
harinya, sepulang sekolah aku pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Ayah.
Keadaan Ayah benar-benar membuatku ingin menangis. Sungguh mengenaskan. Badan
Ayah terlihat begitu kurus, habis dimakan kanker yang jahat! Perutnya semakin
mengeras dan membesar menyembul dari balik kemejanya. Ayah mendengkur lemah
diranjang. Dengan infus tertancap di lengannya dan bantuan oksigen untuk
pernafasannya. Rumah sakit hanya bisa mengurangi rasa sakit yang Ayah rasakan,
tidak lebih dari itu.
6 April 2016
Sepulang
sekolah, kurebahkan tubuhku diranjang melepaskan semua kepenatan. Ku mainkan
ponselku. Tiba-tiba budhe Ifah, menghampiriku dikamar. “Nduk, ayo minta maaf ke
Ayah dulu.” Ujarnya padaku. DEGG!! Apa ini bertanda buruk? Aku bergegas menuju
kamar orang tuaku untuk melihat Ayah. Ibu terus membaca Yasin dan seringkali
terputus karena tangisnya. Sedangkan Ayah terus mengucapkan lafadh “Allah” tak
ada hentinya. Ku pegang tangannya dan kucium. “Ayah aku minta maaf” ujarku
lirih. Semua pandangan menjadi buram. Air mata memenuhi kelopak mata yang siap
menerjang. “Ayah juga minta maaf. Sekolah yang pintar” jawab Ayah terbata-bata
setelah itu kembali mengucap nama
Tuhannya. Tampak jam pukul 14.00. Begitu Ibu usai menyelesaikan membaca Yasin.
“Allah....” Kata Ayah begitu lirih. Kepala Ayah tertunduk dan dengan cepat badan Ayah terhempas
kebelakang. “AYAHHHH!!!!” Teriakku penuh histeris disusul tangisku yang mulai
pecah. Tubuh Ayah dibaringkan menghadap kiblat. Kakinya diikat. Matanya menutup
rapat, begitu tenang dan damai. Ayah benar-benar pergi. Nafasku terengah-engah
menahan sakit. Amat sakit hingga menimbulkan luka dihati yang sangat dalam.
Sedalam cintaku pada Ayah. Kutatap sayu wajah Ayah. Sebelum aku tak dapat lagi
melihatnya. Sebelum jasadnya dibungkus kain kafan putih bersih. Dan diantar ke
liang kubur. Selamat jalan Ayah. Kau adalah pria paling hebat yang pernah hadir
dalam hidupku. Kau didik aku dengan penuh kasih sayang. Namun, kau tidak
memberiku kesempatan untuk membalasnya. Untuk melukis senyum hangat yang
mengembang dibibir manismu. Bahkan kau selalu menyembunyikan rasa sakitmu
dihadapanku. Seolah-olah kau kuat, kebenarannya kau menjerit dalam hatimu.
Ayah, hadirlah dalam mimpiku. Jadilah bunga tidurku. Agar aku tak akan pernah
lupa wajahmu. Kau akan selalu hidup dalam jiwaku. Allah mencintaimu Ayah...